Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren ialah :
Sorogan, yakni suatu metode dimana santri menghadap kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi santri/ kendatipun demikian, metode ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung.[1]
metode sorogan merupakan suatu metode yang ditempuh dengan cara guru menyampaikan pelajaran kepada santri secara individual, biasanya disamping di pesantren juga dilangsungkan di langgar, masjid atau terkadang malah dirumah-rumah. penyampaian pelajaran kepada santri secara bergilir ini basanya dipraktekan pada santri yang jumlahnya sedikit. [2]
Di pesantren, sasaran metode ini adalah kelompok santri pada tingkat rendah yaitu mereka yang baru menguasai pembaca alquran. Melalui sorogan, perkembangan intelekual santri dapat ditangkap kiai scara utuh. Dia dapat memberikan bimbingan penuh kejiwaan sehingga dapat memberikan tekanan pengajaran kepada santri tertentu atas dasar observasi langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka. Sebaliknya, penerapan metode sorogan menuntut kesabaran dan keuletan pengajar. santri dituntut memiliki disiplin yang tinggi. dsamping itu aplikasi metode ini membutuhkan waktu yang lama, yang berarti pemborosan, kurang efektif dan efisien[3].
Berikutnya Wetonan, yakni suatu metode kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kyai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing masing dan mencatat jika perlu. Pelajaran diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melaksanakan sholat fardu. Di Jawa Barat, metode ini disebut dengan bandongan, sedangkan di Sumatera disebut dengan halaqah.[4]
Zamakhsyari Dhofier menerangkan bahwa metode wetonan ialah suatu metode pengajaran dengan cara guru membaca, menerjemahkan, menerangkan dan emngulas buku-buku islam dalam bahasa arab sedang kelompok santri mendengarkannya. Mereka memperhatikan bukuna sendiri dan membuat catatan-catatan tentang kata atau buah pikiran yang sulit. Penerapan metode tersebut mengakibatkan santri bersikap pasif. sebab kreatifitas dalam proses belajar mengajar didimonasi oleh ustadz atau kiai, sementara santri hanya mendengarkan dan memperhatikan keterangannya. dengan kata lain santri tidak dilatih mengekspersikan daya kritisnya guna mencermati kebenaran suatu pendapat[5].
[1] Zamakhsyari dhofir, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,( Jakarta : LP3ES, 1994. cet. Ke-6), Hlm 28-29.
[2] Mujamil Qomar. Pesantren: dari transformasi metodologi menuju demokratisasi institusi. (Jakarta: Erlangga, 2005). Hlm,142
[3] Mujamil Qomar. Pesantren: dari transformasi metodologi menuju demokratisasi institusi. (Jakarta: Erlangga 2005). Hlm, 143
[4] Syamsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam : Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia, cet ke-2, (Jakarta : Pranada media 2008). Hlm, 286
[5] Mujamil Qomar. Pesantren: dari transformasi metodologi menuju demokratisasi institusi. (Jakarta: Erlangga 2005). Hlm, 143
No comments:
Post a Comment